Tuesday, February 14, 2012

Irshad Manji: Beriman Tanpa Rasa Takut



Kalimat-kalimat cerdas yang dilontarkan Irshad menunjukkan masih adanya segelintir pemeluk Islam yang mencoba bersikap kritis, bahkan terhadap ajarannya. Buku ini mungkin akan memancing kemarahan bagi beberapa kaum muslim. Namun, hal itu justru merefleksikan bagaimana keterbukaan pikiran kita terhadap perbedaan yang ada di sekeliling kita.


“Saya sepatutnya membenci Irshad Manji… Tetapi kemudian saya melihat ke dalam hati saya dan menggunakan nalar saya, dan saya sampai pada sebuah kesimpulan yang tidak mengenakkan: Irshad berkata benar,” Profesor Khaleel Mohammed, Imam dan professor di San Diego State University, memberikan pengantar di buku yang ditulis oleh seorang muslimah Pakistan yang bermigrasi bersama keluarganya ke Kanada pada usia 4 tahun, Irshad Manji.


Memutuskan untuk membaca buku “Beriman Tanpa Rasa Takut, Tantangan Umat Islam Saat Ini” berarti kita harus siap dengan serangan-serangan pemikiran Irshad terhadap pola pikir kita yang masih terbelenggu oleh budaya dan ajaran agama yang konservatif. Pembaca diajak untuk menjelajah masa lalu dunia Islam yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan umat muslim dewasa ini.


Sebagai seorang muslim, mungkin banyak pertanyaan kita yang tak terjawab mengenai ajaran-ajaran agama kita. Kita terbiasa untuk tunduk dan pasrah terhadap apa yang telah ditafsirkan oleh para ulama dari kitab suci kita. Hal tersebut juga dialami Irshad muda ketika ia menanyakan mengapa seorang perempuan tidak dapat menjadi imam shalat kepada guru agama di madrasahnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seringkali kita temukan dari mulut anak-anak kita, bukan? Atau kita sendiri masih bertanya-tanya? Jawaban yang diberikan sang guru tidak dapat memuaskan rasa penasaran Irshad alih-alih ia disuruh membaca Al-Quran karena jawabannya ada dalam kitab tersebut.


Bukannya jawaban yang didapatkan Irshad, ia malah bertambah bingung karena kitab sucinya ditulis dalam bahasa dan huruf Arab. Kebanyakan kaum muslim sama sekali tidak tahu apa yang kita ucapkan ketika membaca Al-Quran. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang rumit dan kompleks dan hanya 87% umat muslim di dunia bukanlah beretnis Arab. Jika untuk membacanya saja membutuhkan tenaga ekstra, bagaimana dengan emosi yang terlibat saat kita membaca ayat-ayat Tuhan? Dalam hal ini, kita umat muslim di Indonesia, sudah sepatutnya bersyukur karena kita dengan mudah mendapatkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Namun, seberapa intensnya kita membaca terjemahan Al-Quran untuk mendapatkan pemahaman ajaran Islam yang holistik?


Dalam buku yang menjadi The International Bestseller versi The New York Times ini, Irshad menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya ketika ia masih kecil dan melihat perbudakan yang dilakukan keluarganya sebagai bentuk ketidakadilan, pengalamannya ketika ia belajar di madarasah konservatif dalam budaya Kanada yang plural dan karena kekecewaannya terhadap madrasah tersebut justru membuat Irshad semakin bersemangat mempelajari agamanya, serta pengalamannya sebagai pembawa acara kontroversial, QueerTelevision.


Hubungan Islam-Yahudi
Sebagian besar buku ini menceritakan hubungan antara Islam dan Yahudi, di masa lalu dan masa sekarang. Pembentukan Negara Israel atau dikenal dengan Zionisme, dan tentu saja kita tidak bisa melupakan tragedi 11 September, membuat hubungan dua agama samawi tersebut menjadi semakin panas. Pada bagian inilah, Irshad mencoba memberikan alternatif solusi pada cara berpikir kaum muslim untuk menghentikan kesalingbencian dan mewujudkan perdamaian antara para pemeluk dua agama tersebut.


Banyak fakta dibalik permusuhan tersebut yang tidak diekspos dengan tujuan-tujuan tertentu, yang justru makin memperuncing kedengkian antara satu agama dengan yang lain. Irshad mengambil contoh, seberapa seringkah kita mendengar kisah tentang hubungan baik umat muslim dan umat agama lain termasuk Yahudi, dibandingkan dengan kisah-kisah peperangan, pengkhianatan, dan pembunuhan? Pada jaman keemasan Islam, 750-1250 M, di Irak umat Kristen dan umat Islam bekerja sama menerjemahkan dan menghidupkan kembali filsafat Yunani. Di Spanyol, umat muslim membangun budaya toleransi dengan kaum Yahudi. Memang tidak diceritakan hal apa yang menciptakan atomosfer keterbukaan tersebut, namun toleransi merupakan jalan terbaik untuk membangun dan mempertahankan imperium Islam di masa itu. Sebelumnya, pada tahun 639 ketika kaum muslim menginvasi Yerusalem dan merebut Kota Daud, kaum Yahudi bersorak sorai karena bisa lepas dari belenggu Bizantium, yang telah menodai kesucian situs-situs Daud. Kaum muslim membersihkan tempat-tempat tersebut dan mengundang keluarga-keluarga Yahudi untuk kembali ke sana.


Adalah egoisme manusia yang haus akan kekuasaan yang sebenarnya menjadi dalang dari permusuhan Islam-Yahudi selama berabad-abad. Dalil agama kemudian dijadikan pembenaran untuk melakukan serangkaian aksi demi mecapai tujuan kelompok tertentu. Mengutip Kompas (Kamis, 15 Mei 2008), pada konferensi internasional yang membahas permasalahan Palestina, Rabbi Yisroel Dovid Weiss mengatakan, ”lebih dari 25% Yahudi justru menolak Zionisme itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Yahudi tidak selalu sama dengan Zionisme dan Israel, dan Israel tidak bergerak atas nama kaum Yahudi di seluruh dunia. Berperang melawan Israel dan Zionisme tidak sama dengan memusuhi kaum Yahudi yang lain.


Demikian juga hubungan antara Palestina, Islam, dan dunia Arab. Tidak serta merta ketiganya memiliki hubungan yang baik. Hal yang mengecewakan, dan sayangnya tidak banyak diketahui oleh umat muslim, adalah bagaimana perlakuan negara-negara Islam di Arab terhadap bangsa Palestina. Irshad memberikan gambaran seperti ini: pada tahun 1991, Kuwait mengusir tiga ratus ribu orang Palestina dari perbatasan sebagai tindakan balas dendam terhadap Arafat yang mendukung Saddam. Kuwait dan Arab Saudi mendonasikan lebih sedikit dari donasi Israel kepada badan-badan PBB yang peduli pada pengungsi Palestina. Hukum di Lebanon melarang sebagian besar pengungsi Palestina bekerja paruh waktu, membeli tanah, atau menjadi profesional. Satu-satunya negara Arab Islam yang memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina adalah Yordania, dimana sebagian besar rakyat Yordania adalah etnis Palestina.


Irshad juga membeberkan fakta bahwa mayoritas pengungsi di dunia berasal dari negara-negara Islam. Sejak tahun 1930, negara-negara Arab telah melakukan tidak kurang 1 kali peperangan. Selama 10 tahun terakhir seratus ribu orang Aljazair terbunuh. Dua puluh lima ribu orang juga menjadi korban bombardir Suriah terhadap kota yang menampung ekstrimis muslim. Dan sejak tahun 1975-1990, perang Lebanon dibayar setidaknya dengan 150.000 nyawa, kebanyakan orang Palestina. Tidakkah kita malu pada budaya peperangan yang dilakukan oleh oknum-oknum Islam? Apakah Islam tidak mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan berbuat baik pada saudara-saudaranya sendiri, dan melarang untuk lebih mementingkan ekslusivisme bangsa tertentu? Jawabannya tentu Islam mengajarkan kasih sayang dan semua orang adalah sama di mata Allah, kecuali taqwanya. Apakah Islam selalu sama dengan Arab dan Arab selalu sama dengan Islam? Jika jawabannya Tidak, mengapa kita latah mengadopsi mentah-mentah budaya Arab pada cara berpakaian, arsitektur, bersikap, bahkan cara berpikir bahwa bom bunuh diri adalah jihad, tak peduli siapa korbannya?


Saatnya Kita Bercermin
Perbincangan mengenai tragedi 11 September memang berangsu-angsur pudar, namun demikian, tragedi tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah terutama bagi kita, kaum muslim. Apa yang bisa diberikan kaum muslim kepada semua orang, termasuk kita sendiri untuk tidak berprasangka buruk terhadap Islam? Mengapa Al-Quran dipergunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang banyak dicela karena melanggar kemanusiaan? Apakah tidak ada jalan lain, dengan dialog misalnya, untuk menyelesaikan masalah? Mengapa hanya sedikit kaum muslim yang memilih jalan keterbukaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang diajukan Irshad untuk menantang sikap dewasa kaum muslim di seluruh dunia.


Hal lain yang juga tidak luput dari pemikiran kritis Irshad adalah posisi perempuan dalam Islam. Irshad menggugat agama Islam yang memperlakukan perempuan dengan sangat tidak adil. Irshad mengambil contoh kasus di Nigeria. Seorang perempuan berusia 17 tahun yang sedang hamil dihukum 180 cambukan oleh Pengadilan Islam karena dituduh melakukan hubungan seks di luar nikah. Kenyataannya adalah, perempuan tersebut merupakan korban perkosaan 3 orang laki-laki, dan ia telah dengan susah payah membawa 7 orang saksi. Namun hukum tidak berpihak padanya.


Diskriminasi, marjinalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan menjadi isu yang digembor-gemborkan gerakan feminis, namun sayangnya tidak banyak didukung, kalau tidak ditolak mentah-mentah dengan dalil agama, oleh kaum agamawan. Irshad dan teman-temannya menempatkan dukungan bagi para wirausahawan muslimah sebagai tujuan nomor satu Operasi Ijtihad, sebuah gerakan kampanye untuk memulihkan kemanusiaan Islam. Kampanye ini mengharapkan negara-negara di seluruh dunia mengalokasikan pinjaman usaha mikro bagi perempuan muslimah. Alasannya sederhana, Al-Quran tidak melarang perempuan untuk berbisnis. Dan diharapkan dengan kaum muslimah mendapatkan penghasilan sendiri, mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi, roda-roda perdagangan tersebut diharapkan dapat memperbaiki hubungan antara umat muslim dengan umat agama lain, seperti yang pernah dicontohkan dalam sejarah manusia.


Kita memang tidak diajak untuk sepakat begitu saja pada apa yang diutarakan Irshad Manji dalam buku yang telah diterbitkan di 30 negara, antara lain Pakistan, Turki, Irak, dan India ini. Perempuan yang dinobatkan sebagai satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam ini mengharapkan umat muslim untuk berani berdialog, berani mempertanyakan ajaran-ajaran Islam untuk menciptakan kaum muslim modern yang berpikiran terbuka. Toleransi yang diserukan Irshad bukan hanya antara agama Islam dengan agama lain, namun juga toleransi atas perbedaan-perbedaan dalam Islam, baik itu perbedaan individual (jenis kelamin, orientasi seksual, suku, bangsa, ras, politik) maupun perbedaan penafsiran dan keyakinan dalam Islam seperti yang menjadi fenomena akhir-akhir ini: maraknya aliran-aliran -yang dianggap- sesat dan menyimpang dari Islam.


Lima halaman pertama buku ini menampilkan foto-foto secara berturut-turut: anak perempuan muslim; dua orang laki-laki yang akan dihukum gantung; seorang perempuan berjilbab yang merintih kesakitan, separuh badannya dikubur dalam tanah; ekspresi marah seorang laki-laki dalam sebuah aksi, tampak asap mengepul di belakangnya; dan foto Irshad sedang tersenyum bersama rekan-rekannya. Foto-foto yang mengilustrasikan tulisan-tulisan Irshad tersebut mampu menunjukkan kepada pembaca kemana Irshad akan membawa pembacanya melalui buku ini, yaitu dunia damai dan penuh senyum yang menjadi dambaan semua manusia di muka bumi. Irshad juga memberikan layanan e-book sehingga para pembaca bisa menikmati tulisannya dengan mendownload dari http://www.irshadmanji.com/indonesian-edition


Data Buku
Judul : Beriman Tanpa Rasa Takut
Penulis : Irshad Manji (Alih bahasa: Herlina Permata Sari)
Penerbit : Nun Publisher
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 342 halaman (termasuk indeks)

No comments:

Post a Comment