Thursday, February 23, 2012

The Color of Earth, Warna Tanah (The Color Trilogy part 1)




Judul : Warna Tanah 
Pengarang : Kim Dong Hwa
Tahun terbit : 2010
Halaman : 319
Penerbit : Gramedia
 
Berawal dari ketidaksengajaan menemukan buku ini. Penulisnya, Kim Dong Hwa, tidak terlalu dikenal memori saya selain karyanya di Chicken Soup. Ya, saya hanya tahu sedikit dari karyanya. 

Novel asli dari trilogi ini terbit 2003, namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada Juni 2010.
Cerita-nya sendiri berpusat pada kehidupan dua perempuan beda zaman di Namwon sebuah kampung kecil di Korea, yaitu seorang janda dan anak perempuan-nya, Ehwa. Sang Janda memiliki warung yang sering menjadi tempat persinggahan para pria petani yang sebagian besar merupakan warga desa kecil di mana mereka tinggal. 
Sang Janda  digambarkan masih cantik dan menarik dengan sabar menahan diri dari godaan lelaki iseng yang justru merupakan langganan loyal. Meski akhirnya ia jatuh cinta pada seorang tukang gambar keliling. 
Khusus Ehwa, mendapat fokus lebih pada trilogi ini. 
Dalam Warna Tanah ini mengambil fase Ehwa yang mengalami paniknya menstruasi pertama, debar cinta monyetnya pada bhiksu muda.

Penokohan pun tidak jauh dari pencitraan baik dan buruk manusia.
Tokoh yang digambarkan nakal dalam buku ini cukup banyak, mulai dari sepasang teman Ehwa yang “gatal”, dan cenderung melakukan eksibisionis, para petani genit yang senantiasa mengeluarkan kata-kata mesum ke Sang Janda. 
Sebaliknya Ehwa digambarkan sebagai seorang gadis pemalu yang baik hati, sebagaimana Ibunya. Selain Ehwa dan Ibunya, ada  beberapa tokoh dalam buku ini merupakan sosok yang mewakili citra baik manusia, misal seorang Tuan Muda yang merupakan anak salah satu tokoh terpandang, pendeta muda Chung Myung, tukang gambar kekasih Si Janda ataupun Duksam, kekasih Ehwa.

Ehwa dan ibunya digambarkan sangat dekat, banyak dialog di antara mereka.
Unsur seksualitas juga kental digambarkan Kim dalam novel ini. Digambarkan pula Ehwa yang polos bertanya mengenai seksualitas pada ibunya. 
Ada bagian di mana si Ibu mandi dalam bak kayu khas Korea, dan Ehwa bertanya mengapa payudara miliknya tidak sebesar ibunya. Kim tidak lantas canggung menggambar badan si Ibu yang telanjang dada.

Ada kepolosan Ehwa kecil yang membuat terkikik geli di bagian awal buku ini.
Bayangkanlah seorang Ehwa yang kebingungan melihat kawan-kawan lelakinya berlomba “jauh-jauhan pipis". Di usia Ehwa, belum sekalipun melihat atau bahkan membayangkan apa itu penis. 

Ehwa                      : Benda apa itu?
Teman laki-laki    : Ini? Ini burung,  masakah kau tidak tahu?
Ehwa                      : Oh,  tentu saja aku tahu! aku juga punya, milikku istimewa, sebesar rajawali!

Kemudian Ehwa pulang dengan membatin : "Jangan-jangan aku punya kelainan? Kenapa aku tidak punya burung?
Hahahaha.

Di luar kepolosan Ehwa, diselipkan bagian percintaan Ehwa dengan bhiksu muda yang berakhir pahit. 
Kim banyak menggunakan pepatah Korea dalam buku ini, yang tentu lebih menambah tahu. Kita tidak perlu khawatir artinya, karena Kim rajin memberikan arti di footnote setiap halaman yang berisi pepatah Korea.

Novel ini banyak memberi pengetahuan mengenai adat dan istiadat Korea, untunglah tidak tertutupi dengan K-Pop atau girl/boyband. Novel ini diperuntukkan bagi dewasa, karena Kim membahasakan setiap dialog dalam buku ini dengan bahasa begitu puitis, penerjemahnya (Rosi Simamora) berjasa besar mengantar pembaca untuk being overwhelmed. Let's say kalau buku ini adalah kumpulan puisi Kim. Begitu banyak perumpamaan mengenai bunga.

Contoh kalimat puitis si Ibu yang sebenarnya sedang dirundung rindu pada kekasihnya, si tukang gambar.
" Bunga-bunga ini indah sekali. Mereka tumbuh sendiri, berbunga sendiri, bertunas dan mekar berulang kali... Mereka mengenakan gaun yang paling indah seolah-olah menanti-nantikan seseorang. Aku ingin tahu siapa yang mereka tunggu." 
 
Kita akan dibuat jatuh cinta pada sosok Ehwa dan ibunya, lewat dialog yang puitis dan penuh kiasan, lewat pertengkaran mereka karena si Ibu merasa Ehwa keterlaluan. 

Oya, ada dialog yang manis antara Ehwa dan bhiksu muda. Well, bisa diterapkan juga pada pasangan. Hahaha.
Ehwa     : Aku tak tahu mengapa, tapi jantungku terus berdebar-debar. Dan meskipun tidak makan, perutku terasa penuh - dan di atas semua itu, aku tidak bisa tidur.

Bhiksu  : Aku ingin tahu penyakit macam apakah itu. Sebaiknya kau pergi menemui tabib.

Ehwa    : (tersenyum lebar) Tapi sekarang semua baik-baik saja. Sekarang seelah melihat dirimu dengan pakaian abu-abumu, hatikupun tenang. Sekarang setelah aku melihat kepalamu yang bulat mengilap, perutku terasa lebih baik.

Bhiksu  : (blushing)
Ehwa    : (blushing)

Hehehe. Manis bukan? 

Awalnya, saya mengira novel yang saya beli ini akan diam di lemari tanpa pernah saya baca. Tapi faktanya, saya ketagihan kelanjutan cerita Ehwa. Kelanjutannya, Warna Air, fase Ehwa jatuh cinta. Bagian terakhir, Warna Langit, bagian di mana proses Ehwa memutuskan menikah dengan pasangan pilihannya.
 
Ini merupakan novel grafis pertama yang saya punya. Sebelumnya, saya tidak terlalu mengerti apa beda novel grafis dan komik selain dari tebal dan besar bukunya. -> let's say kalau saya ini polos. hihihi.


Short word, it's a good book. 

5 comments:

  1. aku punya 2 novel lainnya juga. tadinya mau aku resensiin sekaligus 3. hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. yang warna air dan langit kamu aja nyah, nggonku lagi dipinjem, semoga balik :p

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. ahahahah... lanjutkeun saja tere. eyke lagi rempi nih minggi minggu ini sampe maret :(

    ReplyDelete