Thursday, February 23, 2012

The Color of Earth, Warna Tanah (The Color Trilogy part 1)




Judul : Warna Tanah 
Pengarang : Kim Dong Hwa
Tahun terbit : 2010
Halaman : 319
Penerbit : Gramedia
 
Berawal dari ketidaksengajaan menemukan buku ini. Penulisnya, Kim Dong Hwa, tidak terlalu dikenal memori saya selain karyanya di Chicken Soup. Ya, saya hanya tahu sedikit dari karyanya. 

Novel asli dari trilogi ini terbit 2003, namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada Juni 2010.
Cerita-nya sendiri berpusat pada kehidupan dua perempuan beda zaman di Namwon sebuah kampung kecil di Korea, yaitu seorang janda dan anak perempuan-nya, Ehwa. Sang Janda memiliki warung yang sering menjadi tempat persinggahan para pria petani yang sebagian besar merupakan warga desa kecil di mana mereka tinggal. 
Sang Janda  digambarkan masih cantik dan menarik dengan sabar menahan diri dari godaan lelaki iseng yang justru merupakan langganan loyal. Meski akhirnya ia jatuh cinta pada seorang tukang gambar keliling. 
Khusus Ehwa, mendapat fokus lebih pada trilogi ini. 
Dalam Warna Tanah ini mengambil fase Ehwa yang mengalami paniknya menstruasi pertama, debar cinta monyetnya pada bhiksu muda.

Penokohan pun tidak jauh dari pencitraan baik dan buruk manusia.
Tokoh yang digambarkan nakal dalam buku ini cukup banyak, mulai dari sepasang teman Ehwa yang “gatal”, dan cenderung melakukan eksibisionis, para petani genit yang senantiasa mengeluarkan kata-kata mesum ke Sang Janda. 
Sebaliknya Ehwa digambarkan sebagai seorang gadis pemalu yang baik hati, sebagaimana Ibunya. Selain Ehwa dan Ibunya, ada  beberapa tokoh dalam buku ini merupakan sosok yang mewakili citra baik manusia, misal seorang Tuan Muda yang merupakan anak salah satu tokoh terpandang, pendeta muda Chung Myung, tukang gambar kekasih Si Janda ataupun Duksam, kekasih Ehwa.

Ehwa dan ibunya digambarkan sangat dekat, banyak dialog di antara mereka.
Unsur seksualitas juga kental digambarkan Kim dalam novel ini. Digambarkan pula Ehwa yang polos bertanya mengenai seksualitas pada ibunya. 
Ada bagian di mana si Ibu mandi dalam bak kayu khas Korea, dan Ehwa bertanya mengapa payudara miliknya tidak sebesar ibunya. Kim tidak lantas canggung menggambar badan si Ibu yang telanjang dada.

Ada kepolosan Ehwa kecil yang membuat terkikik geli di bagian awal buku ini.
Bayangkanlah seorang Ehwa yang kebingungan melihat kawan-kawan lelakinya berlomba “jauh-jauhan pipis". Di usia Ehwa, belum sekalipun melihat atau bahkan membayangkan apa itu penis. 

Ehwa                      : Benda apa itu?
Teman laki-laki    : Ini? Ini burung,  masakah kau tidak tahu?
Ehwa                      : Oh,  tentu saja aku tahu! aku juga punya, milikku istimewa, sebesar rajawali!

Kemudian Ehwa pulang dengan membatin : "Jangan-jangan aku punya kelainan? Kenapa aku tidak punya burung?
Hahahaha.

Di luar kepolosan Ehwa, diselipkan bagian percintaan Ehwa dengan bhiksu muda yang berakhir pahit. 
Kim banyak menggunakan pepatah Korea dalam buku ini, yang tentu lebih menambah tahu. Kita tidak perlu khawatir artinya, karena Kim rajin memberikan arti di footnote setiap halaman yang berisi pepatah Korea.

Novel ini banyak memberi pengetahuan mengenai adat dan istiadat Korea, untunglah tidak tertutupi dengan K-Pop atau girl/boyband. Novel ini diperuntukkan bagi dewasa, karena Kim membahasakan setiap dialog dalam buku ini dengan bahasa begitu puitis, penerjemahnya (Rosi Simamora) berjasa besar mengantar pembaca untuk being overwhelmed. Let's say kalau buku ini adalah kumpulan puisi Kim. Begitu banyak perumpamaan mengenai bunga.

Contoh kalimat puitis si Ibu yang sebenarnya sedang dirundung rindu pada kekasihnya, si tukang gambar.
" Bunga-bunga ini indah sekali. Mereka tumbuh sendiri, berbunga sendiri, bertunas dan mekar berulang kali... Mereka mengenakan gaun yang paling indah seolah-olah menanti-nantikan seseorang. Aku ingin tahu siapa yang mereka tunggu." 
 
Kita akan dibuat jatuh cinta pada sosok Ehwa dan ibunya, lewat dialog yang puitis dan penuh kiasan, lewat pertengkaran mereka karena si Ibu merasa Ehwa keterlaluan. 

Oya, ada dialog yang manis antara Ehwa dan bhiksu muda. Well, bisa diterapkan juga pada pasangan. Hahaha.
Ehwa     : Aku tak tahu mengapa, tapi jantungku terus berdebar-debar. Dan meskipun tidak makan, perutku terasa penuh - dan di atas semua itu, aku tidak bisa tidur.

Bhiksu  : Aku ingin tahu penyakit macam apakah itu. Sebaiknya kau pergi menemui tabib.

Ehwa    : (tersenyum lebar) Tapi sekarang semua baik-baik saja. Sekarang seelah melihat dirimu dengan pakaian abu-abumu, hatikupun tenang. Sekarang setelah aku melihat kepalamu yang bulat mengilap, perutku terasa lebih baik.

Bhiksu  : (blushing)
Ehwa    : (blushing)

Hehehe. Manis bukan? 

Awalnya, saya mengira novel yang saya beli ini akan diam di lemari tanpa pernah saya baca. Tapi faktanya, saya ketagihan kelanjutan cerita Ehwa. Kelanjutannya, Warna Air, fase Ehwa jatuh cinta. Bagian terakhir, Warna Langit, bagian di mana proses Ehwa memutuskan menikah dengan pasangan pilihannya.
 
Ini merupakan novel grafis pertama yang saya punya. Sebelumnya, saya tidak terlalu mengerti apa beda novel grafis dan komik selain dari tebal dan besar bukunya. -> let's say kalau saya ini polos. hihihi.


Short word, it's a good book. 
>>read more

Saturday, February 18, 2012

One Day: 20 tahun dalam 15 Juli

Mungkin karena saya yang terlalu lama tidak mengakses buku-buku anyar, mungkin karena teknik menulis David Nicholls yang spesial, yang jelas saya merasa novel cinta-cintaan ringan ini tidak menye-menye dan tetap realistis.

Buku terbitan 2009 ini baru mulai saya baca pada awal tahun lalu, 2011. Dan kalau tidak salah film dengan judul yang sama juga muncul di akhir 2011. Namun percayalah, jauh lebih menggairahkan membaca bukunya.

Berbeda dengan gaya film maupun novel ringan amerika yang berpedoman pada kebahagiaan di akhir, novel ini menawarkan kebahagiaan bahagia yang getir. Seorang teman berkata, One day adalah Kuch Kuch Hota Hai versi Amerika. Mungkin begitu yang tampak jika kita menonton filmnya, tapi tidak untuk novel yang menawarkan sensasi, geram, getir dan manis pada saat yang sama.

Ada satu dialog yang paling saya suka dalam buku ini.

"Travelling," she sighed. "So predictable."
"What's wrong with travelling?"
"Avoiding reality more like."
"I think reality is over-rated."

20 tahun hubungan Emma dan Dexter melewati 5 fase kehidupan, dalam 23 bab. Tiap bab adalah 15 Juli, terhitung 23 kali 15 Juli dalam buku ini.

Seperti kebanyakan novel Amerika, Emma adalah mahasiswa kutu buku, revolusionis, aktivis yang jatuh cinta pada Dexter, mahasiswa kaya, popular, tampan, digilai perempuan.

Jalan cerita kelihatannya biasa saja. Dexter yang pernah menghabiskan waktu meniduri murid-murid les-nya di Perancis, bertambah populer saja setelah terjun ke dunia televisi.

Sementara tidak ada yang sepsial pada metamorfosa Emma, idealisme membawanya pada retauran meksiko, dan terakhir menjadi guru SD.

Em dan Dex mulai hidup masing-masing. Em menekan perasaannya pada Dex, dan menghabiskan waktu bersama pacar barunya sementara Dex sibuk meniduri perempuan cantik dari klab ke klab.

Alur cerita yang kalau diceritakan dengan gaya biasa, memang terkesan membosankan dan klise. Tentu David Nichole punya formula sendiri. Ending sempat tidak tertebak, lalu kembali menjadi klise pada akhirnya (seperti kuch-kuch hota hai yang tidak keliahtan jalannya di tengah cerita).

Meski demikian, juga seperti Kuch Kuch Hota Hai, David Nicholls memberi cara pandang segar, teknik menulis yang nikmat, sehingga apapun yang dia lakukan pada akhir cerita, seolah tidak ada yang dapat lebih benar dari pada akhir cerita yang dia pilih.



Judul: One Day
Tahun terbit: 2009
Pengarang: David Nicholls
Penerbit: Hodder & Stoughton Ltd, London

>>read more

Wednesday, February 15, 2012

Middlesex: Gender Ketiga?



Middlesex adalah sebuah novel yang mendokumentasikan perjalanan hidup seorang interseks bernama Calliope Stephanides atau Cal, seorang Amerika keturunan Yunani. Novel ini  merupakan satu dari sedikit novel yang mengambil tema keberagaman seksualitas dan identitas gender. Jeffrey Eugenides, sang penulis novel, menggambarkan dengan detil bagaimana pembentukan identitas gender merupakan soal yang tidak sederhana, terutama jika dikaitkan dengan heteronormativitas. Lewat tokoh utamanya, Cal, diceritakan bahwa mulanya adalah ketidaktelitian seorang dokter yang menyebabkan ia dibesarkan sebagai perempuan. Tidak terdeteksinya kelainan genetik pada saat lahir, membuat kedua orang tua Cal membesarkannya “sesuai” dengan kelamin yang nampak ketika itu, perempuan. Namun, kondisi ini mendadak berubah saat Cal remaja mesti menghadapi kenyataan bahwa ia ternyata memiliki 5-alpha-reductase-pseudohermaphrodite-syndrome, yang membuatnya dikategorikan sebagai interseks. Temuan ini membuat identitas gender dan seksualitas Cal mulai dipertanyakan. Lewat serangkaian tes medis dan observasi psikologis, orang tua Cal, para dokter ahli, dan komunitas medis dunia mencoba “menyesuaikan” Cal kembali ke peran sosial yang cocok baginya di mata masyarakat Amerika saat itu.


Middlesex dinarasikan melalui sudut pandang Cal sang tokoh utama dalam novel ini dan mengambil setting di awal hingga pertengahan abad 20 di Asia Minor, dan Detroit, Amerika Serikat. Secara umum, Middlesex merupakan sebuah terobosan karya sastra untuk melihat persoalan gender dalam konteks heteronormativitas. Melalui penokohan Cal, Jeffrey Eugenides mencoba menggambarkan gender sebagai sebuah pilihan yang dikonstruksi oleh berbagai hal, tidak hanya faktor sosial, tetapi juga faktor alam, seperti jenis kelamin. Perjalanan hidup Cal Stephanides dalam membentuk identitas gendernya merupakan satu bentuk cara survival dalam masyarakat Amerika ketika itu. Middlesex memberikan ruang pada pembaca untuk melihat gender pada konteks pembentukan identitas yang lebih luas dari sekedar konstruksi peran sosial. 



Data Buku
Judul Buku: Middlesex
Tahun Terbit: 2003
Pengarang: Jeffrey Eugenides 
Penerbit: Bloomsbury Publishing, London

>>read more

Minggir! Anak Muda Mau Mimpin!


Melihat sekilas sampul buku ini sudah sangat terasa semangat kaum muda yang ingin ditanamkan oleh sang penulis, Eko Prasetyo. Begitupun dengan tampilan setiap halaman yang diramaikan oleh gambar yang sekaligus menjadi petunjuk bab yang berbeda. Bisa jadi orang akan terkecoh setelah membaca buku ini, terutama pada bab-bab awal. Isinya cukup “berat” bagi para pembaca yang mengharapkan sekedar bacaan menghibur di waktu senggang.
Tanpa basa-basi, Eko langsung mencambuk pemikiran kaum muda yang selama ini tidak kritis karena sistem dan justru ikut terhanyut merayakan kapitalisme. Laporan Diskusi yang mengawali buku ini, menceritakan suasana suatu diskusi, entah dilakukan kapan dan dimana,  yang menghadirkan tiga orang pembicara: seorang politikus muda yang telah melupakan semangat mudanya karena akhirnya pasrah pada sebuah partai yang isinya orang-orang tua tak bersemangat muda, seorang ilmuwan berumur yang telah menyepelekan demokrasi melalui angket-angket survaynya, dan terakhir, seorang penyanyi, pengamen, dan aktivis radikal. Penulis ingin menunjukkan bahwa ternyata masih ada anak-anak muda yang memiliki semangat untuk memperjuangkan keadilan bagi semua orang, dimana kondisi tersebut menjadi benda mahal yang sekarang sulit sekali dijangkau.
Selanjutnya, penulis memberikan kritikan-kritikan tajam pada banyak hal di negeri ini. Dari mulai pemerintahan yang tunduk begitu saja pada dogma pasar bebas, pembangunan yang merusak lingkungan demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya, proses hukum terhadap rezim Orde Baru yang tidak kunjung selesai, para aktivis yang kemudian beralih menjadi pemain di ranah parlementer, para ilmuwan sosial yang menjadi pengabdi kekuasaan dan meninggalkan tugasnya sebagai agen perubahan, sampai ke isu paling hangat, Lapindo. Gerakan mahasiswa pun tidak luput dari kritikan Eko. Tidak seperti gerakan kaum muda di masa silam, gerakan kaum muda jaman sekarang cenderung berusaha menampilkan diri sebagai gerakan moral, yang justru menjadi tumpul dan gagal membawa perubahan signifikan pada perubahan di bumi Indonesia. Hal ini disebabkan kebanyakan gerakan mahasiswa dimotori oleh kaum menengah dan tidak mencoba merangkul masyarakat yang selama ini tertindas sehingga tidak memiliki dukungan massa yang solid untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Soekarno, Semaoen, dan Mohammad Natsir
Imaginasi Eko tertuang dalam ”Waktunya Kalian Memimpin”. Ia membayangkan susana pada suatu malam yang dingin, ia dan teman-temannya sedang berdiskusi ringan tentang politik dengan atmosfer yang sangat sederhana, khas gerakan perjuangan, ruangan penuh buku, air teh, dan gorengan. Tiba-tiba Semaoen muncul di tengah-tengah mereka, disusul datangnya Soekarno muda. Nama Soekarno pasti tidak asing di telinga kita, namun Semaoen? Kita mungkin pernah mendengarnya sekilas di sekolah dulu ketika belajar sejarah Indonesia. Tapi karena ia dilekatkan dengan sebuah partai yang dilarang, citra negatifnya membuat ia terlupakan. Mengapa penulis menampilkan sosok yang kurang familiar?
Tumbangnya Soeharto telah membukakan jalan bahwa banyak fakta sejarah yang dihanguskan dan ditutup-tutupi mengenai Partai Komunis Indonesia, partai dengan massa terbesar di jamannya namun dituding melakukan gerakan mengerikan yang mengancam NKRI. Beberapa saksi mata sejarah berlomba menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di masa itu. Pada masa pemerintahan Gus Dur sempat terjadi pro-kontra, saat sang Presiden mengusulkan mencabut ketetapan MPR yang memarjinalkan pengikut PKI dan anak cucunya.
Pada usia yang sangat muda, 18 tahun, Semoen telah menunjukkan kelihaiannya dalam mengumpulkan massa. Sarekat Islam (SI) Semarang yang ia pimpin mampu menambah anggota dari 1.700 hingga 20.000 orang hanya dalam waktu 1 tahun! Perjumpaannya dengan Sneevliet, Revolusi Rusia, dan konflik yang terjadi dalam SI, membuat Semaoen muda memutuskan untuk mendirikan PKI, partai yang secara progresif membela hak-hak kaum buruh, petani dan mengidam-idamkan pemerintah rakyat dan rakyat memegang kendali perdagangan dan perekonomian. Partai ini berhasil memimpin pemberontakan rakyat pada tahun 1926, pemberontakan pertama dan terbesar sepanjang gerakan politik melawan kolonial Belanda.
Soekarno, seperti kita tahu, mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tahun 1927, juga pada usianya yang masih muda, 24 tahun, saat ia masih menjadi mahasiswa Technische Hoge School (THS, sekarang ITB). Tujuan partai ini singkat dan lugas: mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Propaganda partai dilakukan ke kampung-kampung dan kalangan buruh muda. Semangat Soekarno ia tularkan pada masyarakat melalui pidato-pidatonya yang penuh wibawa dan membawanya ke tampuk presiden pertama di republik ini.
Tokoh lain yang penulis gali adalah Mohammad Natsir, tokoh Masjumi, partai Islam yang berani dan demokratis. Konsistensi Masjumi untuk memperjuangkan nasib rakyat tercermin dari kesederhanaan para tokohnya, termasuk Natsir, sikap yang langka ditemui bahkan pada politisi yang mengatasnamakan agama di masa kini.
Komik
Tenang saja, ditengah tulisan-tulisannya yang menantang, Eko menyelipkan komik-komik strip dan ilustrasi yang cukup menghibur. Gambarnya memang sangat sederhana (entah style-nya memang seperti itu atau bagaimana), tapi pesan-pesan yang disampaikan lewat gambar tidak kalah tajam. Seru! Misalnya gambar ilustrasi di halaman 14 berjudul Perangkat Calon Pemimpin! Pada halaman itu digambarkan siapa saja perangkat calon pemimpin, ada artis atau selebritis yang cantik, tim survey yang siap dengan penelitian dengan hasil mengejutkan, kyai yang siap mendoakan calon pemimpin, mantan pejabat yang akan pura-pura memberikan kritik, dan tentu saja, massa yang banyak atau sedikit tergantung dana.
Komik di halaman 106 lain lagi. Judulnya Prestasi-prestasi Mengerikaaan! Ada Mbah Harto dengan prestasi sebagai pencuri tertinggi uang rakyat di dunia versi PBB. Ada anak-anak dan perempuan yang paling banyak diperdagangkan. Ada pesawat terbang yang dilarang masuk ke berbagai negara karena kredibilitasnya yang buruk di mata internasional. Barang-barang impor yang menguasai bahkan beras, minyak, dan pupuk yang negara kita sebetulnya kaya. Dan terakhir: Handphone! Sebagai kebutuhan primer tertinggi di negeri ini. Di gambar terakhir ini, tokohnya adalah seorang pemulung yang sedang berkomunikasi lewat HP 3G!

Data Buku
Judul : Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : vi + 264 halaman
>>read more

Tuesday, February 14, 2012

Irshad Manji: Beriman Tanpa Rasa Takut



Kalimat-kalimat cerdas yang dilontarkan Irshad menunjukkan masih adanya segelintir pemeluk Islam yang mencoba bersikap kritis, bahkan terhadap ajarannya. Buku ini mungkin akan memancing kemarahan bagi beberapa kaum muslim. Namun, hal itu justru merefleksikan bagaimana keterbukaan pikiran kita terhadap perbedaan yang ada di sekeliling kita.


“Saya sepatutnya membenci Irshad Manji… Tetapi kemudian saya melihat ke dalam hati saya dan menggunakan nalar saya, dan saya sampai pada sebuah kesimpulan yang tidak mengenakkan: Irshad berkata benar,” Profesor Khaleel Mohammed, Imam dan professor di San Diego State University, memberikan pengantar di buku yang ditulis oleh seorang muslimah Pakistan yang bermigrasi bersama keluarganya ke Kanada pada usia 4 tahun, Irshad Manji.


Memutuskan untuk membaca buku “Beriman Tanpa Rasa Takut, Tantangan Umat Islam Saat Ini” berarti kita harus siap dengan serangan-serangan pemikiran Irshad terhadap pola pikir kita yang masih terbelenggu oleh budaya dan ajaran agama yang konservatif. Pembaca diajak untuk menjelajah masa lalu dunia Islam yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan umat muslim dewasa ini.


Sebagai seorang muslim, mungkin banyak pertanyaan kita yang tak terjawab mengenai ajaran-ajaran agama kita. Kita terbiasa untuk tunduk dan pasrah terhadap apa yang telah ditafsirkan oleh para ulama dari kitab suci kita. Hal tersebut juga dialami Irshad muda ketika ia menanyakan mengapa seorang perempuan tidak dapat menjadi imam shalat kepada guru agama di madrasahnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seringkali kita temukan dari mulut anak-anak kita, bukan? Atau kita sendiri masih bertanya-tanya? Jawaban yang diberikan sang guru tidak dapat memuaskan rasa penasaran Irshad alih-alih ia disuruh membaca Al-Quran karena jawabannya ada dalam kitab tersebut.


Bukannya jawaban yang didapatkan Irshad, ia malah bertambah bingung karena kitab sucinya ditulis dalam bahasa dan huruf Arab. Kebanyakan kaum muslim sama sekali tidak tahu apa yang kita ucapkan ketika membaca Al-Quran. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang rumit dan kompleks dan hanya 87% umat muslim di dunia bukanlah beretnis Arab. Jika untuk membacanya saja membutuhkan tenaga ekstra, bagaimana dengan emosi yang terlibat saat kita membaca ayat-ayat Tuhan? Dalam hal ini, kita umat muslim di Indonesia, sudah sepatutnya bersyukur karena kita dengan mudah mendapatkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Namun, seberapa intensnya kita membaca terjemahan Al-Quran untuk mendapatkan pemahaman ajaran Islam yang holistik?


Dalam buku yang menjadi The International Bestseller versi The New York Times ini, Irshad menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya ketika ia masih kecil dan melihat perbudakan yang dilakukan keluarganya sebagai bentuk ketidakadilan, pengalamannya ketika ia belajar di madarasah konservatif dalam budaya Kanada yang plural dan karena kekecewaannya terhadap madrasah tersebut justru membuat Irshad semakin bersemangat mempelajari agamanya, serta pengalamannya sebagai pembawa acara kontroversial, QueerTelevision.


Hubungan Islam-Yahudi
Sebagian besar buku ini menceritakan hubungan antara Islam dan Yahudi, di masa lalu dan masa sekarang. Pembentukan Negara Israel atau dikenal dengan Zionisme, dan tentu saja kita tidak bisa melupakan tragedi 11 September, membuat hubungan dua agama samawi tersebut menjadi semakin panas. Pada bagian inilah, Irshad mencoba memberikan alternatif solusi pada cara berpikir kaum muslim untuk menghentikan kesalingbencian dan mewujudkan perdamaian antara para pemeluk dua agama tersebut.


Banyak fakta dibalik permusuhan tersebut yang tidak diekspos dengan tujuan-tujuan tertentu, yang justru makin memperuncing kedengkian antara satu agama dengan yang lain. Irshad mengambil contoh, seberapa seringkah kita mendengar kisah tentang hubungan baik umat muslim dan umat agama lain termasuk Yahudi, dibandingkan dengan kisah-kisah peperangan, pengkhianatan, dan pembunuhan? Pada jaman keemasan Islam, 750-1250 M, di Irak umat Kristen dan umat Islam bekerja sama menerjemahkan dan menghidupkan kembali filsafat Yunani. Di Spanyol, umat muslim membangun budaya toleransi dengan kaum Yahudi. Memang tidak diceritakan hal apa yang menciptakan atomosfer keterbukaan tersebut, namun toleransi merupakan jalan terbaik untuk membangun dan mempertahankan imperium Islam di masa itu. Sebelumnya, pada tahun 639 ketika kaum muslim menginvasi Yerusalem dan merebut Kota Daud, kaum Yahudi bersorak sorai karena bisa lepas dari belenggu Bizantium, yang telah menodai kesucian situs-situs Daud. Kaum muslim membersihkan tempat-tempat tersebut dan mengundang keluarga-keluarga Yahudi untuk kembali ke sana.


Adalah egoisme manusia yang haus akan kekuasaan yang sebenarnya menjadi dalang dari permusuhan Islam-Yahudi selama berabad-abad. Dalil agama kemudian dijadikan pembenaran untuk melakukan serangkaian aksi demi mecapai tujuan kelompok tertentu. Mengutip Kompas (Kamis, 15 Mei 2008), pada konferensi internasional yang membahas permasalahan Palestina, Rabbi Yisroel Dovid Weiss mengatakan, ”lebih dari 25% Yahudi justru menolak Zionisme itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Yahudi tidak selalu sama dengan Zionisme dan Israel, dan Israel tidak bergerak atas nama kaum Yahudi di seluruh dunia. Berperang melawan Israel dan Zionisme tidak sama dengan memusuhi kaum Yahudi yang lain.


Demikian juga hubungan antara Palestina, Islam, dan dunia Arab. Tidak serta merta ketiganya memiliki hubungan yang baik. Hal yang mengecewakan, dan sayangnya tidak banyak diketahui oleh umat muslim, adalah bagaimana perlakuan negara-negara Islam di Arab terhadap bangsa Palestina. Irshad memberikan gambaran seperti ini: pada tahun 1991, Kuwait mengusir tiga ratus ribu orang Palestina dari perbatasan sebagai tindakan balas dendam terhadap Arafat yang mendukung Saddam. Kuwait dan Arab Saudi mendonasikan lebih sedikit dari donasi Israel kepada badan-badan PBB yang peduli pada pengungsi Palestina. Hukum di Lebanon melarang sebagian besar pengungsi Palestina bekerja paruh waktu, membeli tanah, atau menjadi profesional. Satu-satunya negara Arab Islam yang memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina adalah Yordania, dimana sebagian besar rakyat Yordania adalah etnis Palestina.


Irshad juga membeberkan fakta bahwa mayoritas pengungsi di dunia berasal dari negara-negara Islam. Sejak tahun 1930, negara-negara Arab telah melakukan tidak kurang 1 kali peperangan. Selama 10 tahun terakhir seratus ribu orang Aljazair terbunuh. Dua puluh lima ribu orang juga menjadi korban bombardir Suriah terhadap kota yang menampung ekstrimis muslim. Dan sejak tahun 1975-1990, perang Lebanon dibayar setidaknya dengan 150.000 nyawa, kebanyakan orang Palestina. Tidakkah kita malu pada budaya peperangan yang dilakukan oleh oknum-oknum Islam? Apakah Islam tidak mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan berbuat baik pada saudara-saudaranya sendiri, dan melarang untuk lebih mementingkan ekslusivisme bangsa tertentu? Jawabannya tentu Islam mengajarkan kasih sayang dan semua orang adalah sama di mata Allah, kecuali taqwanya. Apakah Islam selalu sama dengan Arab dan Arab selalu sama dengan Islam? Jika jawabannya Tidak, mengapa kita latah mengadopsi mentah-mentah budaya Arab pada cara berpakaian, arsitektur, bersikap, bahkan cara berpikir bahwa bom bunuh diri adalah jihad, tak peduli siapa korbannya?


Saatnya Kita Bercermin
Perbincangan mengenai tragedi 11 September memang berangsu-angsur pudar, namun demikian, tragedi tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah terutama bagi kita, kaum muslim. Apa yang bisa diberikan kaum muslim kepada semua orang, termasuk kita sendiri untuk tidak berprasangka buruk terhadap Islam? Mengapa Al-Quran dipergunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang banyak dicela karena melanggar kemanusiaan? Apakah tidak ada jalan lain, dengan dialog misalnya, untuk menyelesaikan masalah? Mengapa hanya sedikit kaum muslim yang memilih jalan keterbukaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang diajukan Irshad untuk menantang sikap dewasa kaum muslim di seluruh dunia.


Hal lain yang juga tidak luput dari pemikiran kritis Irshad adalah posisi perempuan dalam Islam. Irshad menggugat agama Islam yang memperlakukan perempuan dengan sangat tidak adil. Irshad mengambil contoh kasus di Nigeria. Seorang perempuan berusia 17 tahun yang sedang hamil dihukum 180 cambukan oleh Pengadilan Islam karena dituduh melakukan hubungan seks di luar nikah. Kenyataannya adalah, perempuan tersebut merupakan korban perkosaan 3 orang laki-laki, dan ia telah dengan susah payah membawa 7 orang saksi. Namun hukum tidak berpihak padanya.


Diskriminasi, marjinalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan menjadi isu yang digembor-gemborkan gerakan feminis, namun sayangnya tidak banyak didukung, kalau tidak ditolak mentah-mentah dengan dalil agama, oleh kaum agamawan. Irshad dan teman-temannya menempatkan dukungan bagi para wirausahawan muslimah sebagai tujuan nomor satu Operasi Ijtihad, sebuah gerakan kampanye untuk memulihkan kemanusiaan Islam. Kampanye ini mengharapkan negara-negara di seluruh dunia mengalokasikan pinjaman usaha mikro bagi perempuan muslimah. Alasannya sederhana, Al-Quran tidak melarang perempuan untuk berbisnis. Dan diharapkan dengan kaum muslimah mendapatkan penghasilan sendiri, mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi, roda-roda perdagangan tersebut diharapkan dapat memperbaiki hubungan antara umat muslim dengan umat agama lain, seperti yang pernah dicontohkan dalam sejarah manusia.


Kita memang tidak diajak untuk sepakat begitu saja pada apa yang diutarakan Irshad Manji dalam buku yang telah diterbitkan di 30 negara, antara lain Pakistan, Turki, Irak, dan India ini. Perempuan yang dinobatkan sebagai satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam ini mengharapkan umat muslim untuk berani berdialog, berani mempertanyakan ajaran-ajaran Islam untuk menciptakan kaum muslim modern yang berpikiran terbuka. Toleransi yang diserukan Irshad bukan hanya antara agama Islam dengan agama lain, namun juga toleransi atas perbedaan-perbedaan dalam Islam, baik itu perbedaan individual (jenis kelamin, orientasi seksual, suku, bangsa, ras, politik) maupun perbedaan penafsiran dan keyakinan dalam Islam seperti yang menjadi fenomena akhir-akhir ini: maraknya aliran-aliran -yang dianggap- sesat dan menyimpang dari Islam.


Lima halaman pertama buku ini menampilkan foto-foto secara berturut-turut: anak perempuan muslim; dua orang laki-laki yang akan dihukum gantung; seorang perempuan berjilbab yang merintih kesakitan, separuh badannya dikubur dalam tanah; ekspresi marah seorang laki-laki dalam sebuah aksi, tampak asap mengepul di belakangnya; dan foto Irshad sedang tersenyum bersama rekan-rekannya. Foto-foto yang mengilustrasikan tulisan-tulisan Irshad tersebut mampu menunjukkan kepada pembaca kemana Irshad akan membawa pembacanya melalui buku ini, yaitu dunia damai dan penuh senyum yang menjadi dambaan semua manusia di muka bumi. Irshad juga memberikan layanan e-book sehingga para pembaca bisa menikmati tulisannya dengan mendownload dari http://www.irshadmanji.com/indonesian-edition


Data Buku
Judul : Beriman Tanpa Rasa Takut
Penulis : Irshad Manji (Alih bahasa: Herlina Permata Sari)
Penerbit : Nun Publisher
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 342 halaman (termasuk indeks)
>>read more